Rabu, 20 Februari 2013

Analisis dan Problematika Output Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam Kebijakan Pendidikan Nasional


A. Pendahaluan Perguruan Tinggi Agama Islam adalah perguruan tinggi di Indonesia yang pengelolaannya berada di bawah Departemen Agama. Secara teknis akademis, pembinaan Perguruan Tinggi Islam Negeri dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan secara fungsional dilakukan oleh Departemen Agama. Sedangkan Output Perguruan Tinggi Agama Islam yang dimaksudkan disini adalah lulusan atau hasil keluaran yang dihasilkan dari Perguruan Tinggi Agama Islam tersebut. Upaya tokoh-tokoh Islam untuk memberdayakan umat Islam di Indonesia dalam jalur pendidikan juga diwujudkan dengan mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam sebagai sebuah lembaga lanjutan. Upaya ini disempurnakan secara berkesinambungan mulai dari awal hingga sekarang dengan berbagai terobosan. Perguruan Tinggi Agama Islam mempunyai ciri khas yang yaitu terlihat jelas pada beban studi yang ditawarkan kepada mahasiswa dan produk yang dihasilkannya, Perguruan Tinggi Agama Islam secara konsisten berupaya menghasilkan produk yang memiliki berbagai kompetensi. Diantaranya kompetensi akademik yang berkaitan dengan metodelogi keilmuan, kompetensi professional yang menyangkut dengan kemampuan penerapan ilmu dan teknologi dalam realitas kehidupan, dan kompetensi intelektual yang berkaitan dengan kepekaan terhadap persoalan yang berkembang. Sasaran ini tentu saja sangat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang memotivasi penajaman intelektual. Dengan demikian, idealnya, output yang dihasilkan Perguruan Tinggi Agama Islam memiliki kualitas yang handal dan mampu bersaing ditengah masyarakat. Selain sebagai wahana yang berorentasi kepada peningkatan kualitas output yang merupakan kunci kemampuan daya saing yang tinggi, Perguruan Tinggi Agama Islam juga dibangun sebagai wahana untuk alih teknologi dan pengembangannya serta sebagai lembaga mitra dalam perencanaan dan pemecahan problematika umat. Output yang dihasilkan Perguruan Tinggi Agama Islam diharapkan memiliki keunggulan dalam pengembangan keilmuan serta keluhuran moral atau akhlak mulia. Walaupun namanya Perguruan Tinggi Agama Islam namun dalam pelaksanaan pembelajarannya tidak hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran agama saja, tetapi juga mengajarkan pelajaran-pelajaran umum, hal ini supaya output yang dihasilkan tidak hanya berbudi luhur, berakhlak mulia, pandai dalam ilmu agama tetapi juga pandai dalam ilmu-ilmu lainnya, sehingga output yang dihasilkan dari Perguruan Tinggi Agama Islam ini kelak dapat bersaing dengan Perguruan Tinggi yang lainnya. Namun dalam kenyataannya, masih sangat banyak persoalan dalam Perguruan Tinggi Agama Islam terutama yang menyangkut masalah outputnya, antara lain dalam manajemennya, minat masyarakat yang masih kurang karena mereka menganggap Perguruan Tinggi Umum lebih maju. B. Dasar Hukum Berikut dasar-dasar kebijakan yang diberlakukan pemerintah dalam Perguruan Tinggi Agama Islam. 1. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 pada Pasal 1 ayat (1) bahwa: ”Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya pendidikan tinggi menyelenggarakan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari jenjang pendidikan sekolah, dan diharapkan dapat mengghasilkan lulusan atau output yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: a. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya. b. Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama. c. Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat. d. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian yang merupakan keahliannya. 2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan”. Adapun kebebasan akademik merupakan salah satu segi yang mendasar dalam upaya pengembangan keilmuan. Kebebasan akademik memiliki dua sisi, yaitu hak untuk mengutarakan pendapat atau pandangan secara akademik dan kewajiban untuk menyampaikan hasil temuannya baik bagi kepentingan dunia ilmu maupun kesejahteraan umat manusia yang dapat menghasilkan lulusan atau output sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Selain itu, Lulusan atau output Perguruan Tinggi Agama Islam harus memiliki kompetensi-kompetensi tertentu. Adapun kompetensi lulusan itu dapat dikelompokkan menjadi empat kompetensi, yaitu: a. Kompetensi dasar adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa sebagai dasar bagi kompetensi utama, pendukung dan kompetensi lainnya. b. Kompetensi utama adalah kompetensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa sesudah menyelesaikan pendidikannya di suatu program tertentu. c. Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang diharapkan dapat mendukung kompetensi utama. d. Kompetensi lain adalah kompetensi yang dianggap perlu dimiliki oleh mahasiswa sebagai bekal mengabdi di masyarakat, baik yang terkait langsung maupun tidak terkait. Kompetensi-kompetensi tersebut diperlukan untuk memberikan basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas PTAI, serta ilmu-ilmu dasar lainnya yang menjadi landasan dalam pengembangan kepribadian dan pendasaran bagi pengembangan keahlian dari prodi-prodi yang ada, memberikan kemampuan adaptasi terhadap ketidakpastian lapangan kerja, sifat pekerjaan dan perkembangan masyarakat yang tidak menentu serta mengantisipasi pekerjaan dengan persyaratan kompetensi yang sifatnya kompetitif dan tidak mengenal batas-batas fisik wilayah, Negara dan pemerintahan. 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi: “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”. Hal ini dimaksudkan bahwa perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk mengelola sendiri lembaganya dalam berbagai hal utamanya dalam pendidikannya yang merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik. Selain itu juga dalam hal penelitian ilmiah yang merupakan kegiatan menelaah kaidah-kaidah dalam upaya untuk menemukan kebenaran atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesenian. Selanjutnya pada pengabdian kepada masyarakat yang merupakan kegiatan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat. C. Problem Dari segi tanggung jawab pengelolaan, Perguruan Tinggi Agama Islam terpolarisasi menjadi dua, yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). PTAIN dikelola dan didanai hampir sepenuhnya oleh pemerintah atau Negara, sedangkan PTAIS dikelola dan didanai hampir sepenuhnya oleh masyarakat. Pengembangan PTAIN menghadapi kendala politis, kultural, social dan psikologis. Kendala politis ini terjadi misalnya menyangkut pengembangan kelembagaan seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. Pada masa rezim Soeharto sangat sulit mengubah IAIN menjadi UIN karena tidak di dukung oleh good will, political will maupun political power dari pemerintah. Selain itu juga komunitas yang menghuni PTAIN banyak yang berasal dari organisasi pergerakan, padahal pergerakan terkenal memiliki sentuhan politik yang sangat mendalam. Kendala lain yang dihadapi PTAIN adalah kendala kultural. Misalnya, motivasi dakwah mendominasi langkah-langkah civitas akademika sehingga berimplikasi pada munculnya kegiatan tanpa perencanaan yang matang, kecenderungan menjadi masyarakat yang suka mendengar dan bercakap-cakap (listening-speaking society) daripada menjadi masyarakat yang cenderung membaca dan menulis (reading-writing society). Kendala selanjutnya berhubungan dengan dimensi sosial dan masyarakat. PTAIN belum memiliki daya tarik bagi masyarakat secara luas. Masyarakat yang memilih PTAIN sebagai tempat kuliah masih terbatas pada kalangan masyarakat santri. Keadaan ini barang kali ada kaitannya dengan penilaian mereka yang salah tentang mata kuliah yang diajarkan di PTAIN. Kendala yang berikutnya adalah kendala psikologis. Masyarakat Indonesia secara psikologis belum bisa diajak maju, baik masyarakat yang berasal dari level pejabat, kalangan pendidikan, siswa atau mahasiswa maupun para orang tua. Kendala-kendala tersebut mempengaruhi lulusan atau output yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam sehingga sulit membaca kebutuhan masyarakat. Apabila selama ini perguruan tinggi tidak mampu melahirkan tenaga-tenaga terampil yang dibutuhkan dunia lapangan kerja, ini disebut kegagalan pendidikan tinggi. Jadi terlepas dari usaha manusia, bisa dikatakan bahwa pengangguran ini juga disebabkan oleh kurikulum lembaga pendidikan yang tidak tepat sasaran. Perguruan tinggi tidak bisa memberikan yang terbaik bagi nasib dan masa depan bangsa ke depan. Perguruan tinggi tidak sepenuhnya berdedikasi tinggi bagi pengentasan pengangguran yang membanjiri negeri ini dan justru ikut menyumbangkan persoalan di tengah sosial dengan segala konsekwensi buruknya. Bila ada pendapat yang mengatakan bahwa perguruan tinggi menjadi tulang punggung utama guna memperbaiki kehidupan bangsa, itu pun masih perlu dibahas kembali dan dicarikan kebenarannya dalam konteks apalah namanya. Jelas, ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi di perguruan tinggi saat ini. Sudah diakui oleh kalayak luas bahwa perguruan tinggi merupakan tempat untuk meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek jiwa atau ruh, intelektual, sosial dan profesionalitasnya. Amanah atau beban itu sebenarnya tidak mudah dipikul oleh Perguruan Tinggi Agama Islam, utamanya perguruan tinggi yang tidak didukung oleh finansial yang mencukupi. Akibatnya banyak lulusan atau output yang tidak sesuai dengan harapan pemerintah dan juga masyarakat yang biasanya disebut dengan Sarjana pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari data yang bersumber dari kampus.okezone.com adalah sebagai berikut: Yogyakarta -Tingginya jumlah lulusan perguruan tinggi atau sarjana Strata 1 (S-1) yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan kerja yang memadai menyebabkan jumlah intelektual yang menganggur tinggi. Selain itu, persoalan terbatasnya informasi dan kualifikasi yang kurang memenuhi kompetensi juga menjadi pemicu utama mengapa penyerapan angkatan kerja, terutama jebolan dari Perguruan Tinggi sampai sekarang masih rendah. “Pengangguran akademik ini bukan semata-mata akibat jumlah lapangan pekerjaan yang kurang, tapi juga tidak lancarnya pertemuan antara pencari kerja dan penyedia kerja. Ini friksi yang menciptakan pengangguran di pasar tenaga kerja,” papar Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid saat membuka Job Fair Campus Hiring di Kampus Terpadu UII, Yogyakarta. Edy menuturkan, berdasarkan data terakhir, jumlah pengangguran yang bergelar sarjana mencapai 7,8 persen dari total angkatan kerja. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan pengangguran secara nasional yaitu 6,8 persen. Sehingga melalui adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat menjembatani para pencari kerja. Hal diatas kurang sesuai dengan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah khususnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) yang diharapkan dapat mengghasilkan lulusan atau output yang memiliki kualifikasi tertentu serta sesuai dengan tuntutan masyarakat. Ada yang tidak dan belum beres dalam mengelola pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Ada konsep pemikiran yang tidak bersambungan antara harapan orang tua peserta didik untuk memasukkan dan menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi dengan para pemegang pendidikan tinggi tersebut. Apabila para orang tua peserta didik mengharapkan anak-anaknya mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan selanjutnya bisa diaplikasikan dalam dunia kerja, ternyata harapan ideal para orang tua tersebut belum dan tidak didengar para pemegang pendidikan tinggi. Para pemegang pendidikan tinggi tidak mengetahui pesan nurani para orang tua tersebut sesungguhnya. Ada salah komunikasi lintas sektoral di antara dua kelompok tersebut. Ironisnya, selama pendidikan tingginya sesuai dengan misi dan visi perguruan tinggi, akan tetapi tidak mencakup muatan pesan nurani para orang tua, perguruan tinggi tetap menjalankan pendidikan tingginya itu. Sangat jelas, antara keinginan para orang tua dan perguruan tinggi tidak bersatu dan dicoba satupadukan. Sejatinya dan secara ideal, perguruan tinggi itu harus mengerti dan memahami kebutuhan para konsumen pendidikan, namun hal tersebut dibiarkan begitu saja dan tidak mendapat ruang kepedulian. Ini sungguh memilukan. Perguruan tinggi mementingkan kepentingan dirinya sendiri sementara kepentingan para orang tua dan peserta didik sebagai konsumen ditelantarkan dengan begitu saja. Sejumlah bukti perguruan tinggi tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan dan kebutuhan konsumen pendidikan, itu bisa dibaca dan diketahui di beberapa perguruan tinggi dengan program studi yang tidak dan kurang aplikatif. Ada beberapa program studi yang tidak layak dipertahankan, itu pun masih dipertahankan keberadaannya. Seolah bertujuan untuk melengkapi program studi lainnya supaya kelihatan banyak program studi yang diberlangsungkan dalam perguruan tinggi tersebut. Sementara ada beberapa program studi yang sangat diminati konsumen pendidikan, program studi tersebut tidak digarap secara serius. Ini sangat menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi selama ini tidak dikerjakan secara profesional. Oleh karenanya, ketidakmampuan perguruan tinggi membaca kebutuhan lapangan yang kongkrit pun menjadi sebuah persoalan baru yang cukup merumitkan keadaan. Ini sesungguhnya yang justru akan menambah ketidakjelasan arah pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Sangat jelas, hal sedemikian memberikan satu stigma buruk terhadap pendidikan tinggi yang selama ini diberlangsungkan. Pendidikan tinggi hanya dikerjakan apa adanya, tanpa dikonsep secara jelas dan matang. Pendidikan tinggi adalah sebuah proses penyelenggaraan pendidikan yang tidak memiliki dasar pemikiran sangat matang dan aplikatif, akan dibawa kemana arah pendidikannya. Hal sedemikian sungguh sebuah potret pendidikan tinggi yang muram dan sudah kehilangan identitas dirinya sebagai pendidikan yang siap mencetak generasi bangsa, yang dipersiapkan untuk mengisi seluruh lini kehidupan bangsa guna menggapai bangsa besar, maju dan makmur dan berakhirnya persentase besar-besaran munculnya sarjana pengangguran. D. Analisis SWOT 1. Kekuatan (Strength) a. Dukungan Kebijakan Pemerintah (UU, PP, dan Keputusan Lainnya) yang memberikan peluang untuk tetap eksisnya lembaga Pendidikan Tinggi Islam. b. Banyaknya lembaga pendidikan Islam tingkat dasar dan menengah yang menjadi raw input bagi Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti pesantren, sekolah, dan madrasah. c. Standar kompetensi lulusan di PTAI di harapkan menjadi: 1) Sarana pengendalian dan penjaminan mutu lulusan dan perumusan berbagai kebijakan yang terkait. 2) Rambu-rambu dalam perencanaan pengembangan kurikulum agar pemberdayaan output yang dapat dicapai secara optimal. 3) Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam, sebagai acuan dalam upaya melakukan evaluasi diri terhadap pencapaian kualifikasi berkaitan dengan penguasaan kompetensi lulusan yang secara minimal harus dipenuhi sebagai persyaratan lulusan. 4) Masyarakat pengguna lulusan, sebagai acuan dalam merencanakan dan melaksanakan rekrutmen, penempatan dan pengembangan tenaga kerja yang diperlukan. 2. Kelemahan (Weakness) Hal ini dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal dari Perguruan Tinggi Agama Islam tersebut. a. Faktor internal antara lain: 1) Kurikulum yang digunakan tidak tepat sasaran. 2) Program studi yang kurang aplikatif, artinya ada beberapa program studi yang tidak layak dipertahankan. 3) Ketidak mampuan perguruan tinggi membaca kebutuhan lapangan kerja. 4) Terbatasnya Sumber Daya Manusia dalam mengelolanya, baik tenaga administrasi maupun dosen, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. 5) Terbatasnya sarana dan fasilitas b. Faktor eksternal antara lain: 1) Kebijakan pemerintah yang belum mampu menyentuh sisi terdalam dari sebuah pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam. 2) Tidak lancarnya pertemuan antara pencari kerja dan penyedia kerja, Karena hampir sebagian besar mental anak sekarang mudah putus asa. 3. Peluang (Opportunity) a. Dalam meningkatkan lulusan atau output dari Perguruan Tinggi Agama Islam semakin baik meskipun belum optimal, sehingga diharapkan kedepan akan lebih memberikan harapan yang baik dengan dihasilkannya lulusan atau output yang lebih berkualitas dari tujuan yang ada di Perguruan Tinggi Agama Islam dengan peningkatan mutu pendidikan dan beberapa perubahan kurikulum dalam Perguruan Tinggi Agama Islam sehingga diharapkan akan menghindarkan kekecewaan masyarakat, serta lembaga pendidikan tinggi islam akan berjalan dengan baik. b. Harapan masyarakat terutama umat Islam sangat besar terhadap pendidikan tinggi Islam. c. Semakin banyak lembaga pendidikan tinggi islam yang berkualitas sehingga digandrungi masyarakat. d. Etos belajar yang menyangkut kemampuan belajar serta berfikir secara kreatif dan kritis serta mengoptimalkan kegunaan kemampuan-kemampuan biologis dan psikologis. 4. Ancaman (Threatment) a. Menghadapi era globalisasi yang menuntut perubahan paradigma untuk bisa bertahan hidup di era globalisasi. b. Masih banyak perguruan tinggi Islam yang amsih dalam proses pembinaan sehingga dikhawatirkan kalah bersaing di era persaingan sekarang. Semakin sulitnya mendapat lowongan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi Islam terutama alumni ilmu-ilmu keislaman. c. Yang menjadi prioritas sekarang adalah, bagaimana pendidikan tinggi yang telah ada, mampu untuk menghasilkan sosok lulusan atau output yang kompeten sehingga benar-benar bisa mengurangi suatu pengangguran di negeri ini. Baik mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun eksternal. E. Problem Solving Pendidikan adalah bagian terpenting bagi suatu negara dalam rangka mencetak sumber daya manusia yang berkualitas untuk membawa kemajuan bangsa pada kancah dunia internasional. Melihat begitu besanya peran pendidikan, disini penulis mencoba untuk memberikan tawaran guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang terjadi bahwa dalam pencapaian tujuan program Pendidikan Islam ini dilakukan melalui sejumlah kegiatan strategis sebagai berikut : 1. Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tinggi Islam Lulusan atau output yang hendak dihasilkan adalah: a. Meningkatnya akses pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). b. Meningkatnya mutu layanan pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). c. Meningkatnya mutu dan daya saing lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). d. Meningkatnya mutu tata kelola Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Lulusan atau output tersebut dapat dicapai melalui penyediaan dan pengembangan sarana prasarana Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal, peningkatan mutu lulusan dan daya saing bertaraf internasional, peningkatan mutu kurikulum dan bahan ajar, peningkatan partisipasi masyarakat, pengembangan kemitraan dengan berbagai pihak, pengembangan Ma`had Aly pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), penataan program studi dan bidang keilmuan yang fleksibel memenuhi kebutuhan pembangunan, penguatan konsorsium atau perpustakaan ilmu-ilmu keislaman yang memperkuat pengembangan dan pengkajian ilmu-ilmu keislaman di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), serta peningkatan mutu tata kelola Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). 2. Penyediaan Subsidi Pendidikan Tinggi Islam Bermutu Lulusan atau output yang hendak dihasilkan adalah tersedia dan tersalurkannya beasiswa bagi mahasiwa miskin dan mahasiswa berprestasi termasuk di daerah bencana, terpencil dan tertinggal. 3. Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi Islam Lulusan atau output yang hendak dihasilkan adalah: a. Meningkatnya profesionalisme dosen dan tenaga kependidikan pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). b. Meningkatnya kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Lulusan atau output tersebut dapat dicapai melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dosen dan tenaga kependidikan, penyediaan beasiswa dan bantuan belajar, penyediaan tunjangan fungsional, tunjangan profesi dan tunjangan lainnya bagi dosen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar